Mewaspadai Lahirnya Ketidakpastian Hukum Pidana Dalam RUU KUHP

Mewaspadai Lahirnya Ketidakpastian Hukum Pidana Dalam RUU KUHP

Oleh: Muhammad Rasyid Ridha S.*

Dalam Negara Hukum Modern, setiap perbuatan warga negara dan pejabat negara dibatasi oleh hukum secara jelas. Namun apa jadinya bila Negara Hukum hari ini hendak dibawa untuk melampaui dan mengaburkan batas-batas kepastian hukum atas nama pluralisme hukum, relativisme hukum, hukum adat, hingga moral dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 RUU KUHP (Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia)?

Padahal sistem hukum pidana dalam Negara Hukum hari ini, pada dasarnya adalah salah satu produk kebanggaan modernitas, dimana ia berpijak dan dibangun berdasarkan ide-ide produk modernitas lainnya yang sudah mapan: saintisme-positivisme, empirisme, rasionalisme, liberalisme, dan humanisme. Ide-ide yang universal, pasti, dan mapan ini, dilahirkan untuk melawan mitos-mitos ketidakpastian yang dulu banyak diproduksi lewat pemikiran relijius, mistis, dan aristokratisme raja, dan acapkali justru menindas rakyat.

Semangat modernitas dalam hukum pidana tampak dari wataknya yang saintis-positivis, dimana ia berpijak pada penemuan-penemuan sains pengetahuan kontemporer, yang didasarkan pengukuran yang tepat, pasti dan terukur. Hukum pidana modern bersifat empiris, karena ia mengklasifikasikan fakta-fakta kasus di lapangan dengan pembuktian yang riil, sehingga ia disebut sebagai dalil atas kebenaran (menjadi fakta) dalam suatu peristiwa hukum. Hukum pidana bersifat rasional, karena ia dibangun lewat logika, pemikiran dan argumentasi rasional, yang kesemuanya dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah, tidak berdasarkan prasangka semata.

Hukum pidana modern sendiri adalah liberal, disebabkan ia berpijak pada kepentingan dan nilai-nilai kebebasan individu, yang mesti dilindungi oleh Negara dari segala bentuk upaya pemberangusan, dan lewat hukum pidana-lah Negara dibatasi untuk tidak berlebihan mengintervensi atau membatasi kebebasan manusia. Hukum pidana modern berorientasi pada humanisme, karena ia berpijak pada nilai-nilai dan penghormatan atas status kemanusiaan warga negara, dimana warga negara tersebut memiliki hak asasi manusia yang mesti dilindungi, dihormati, dan dipenuhi oleh Negara.

Ide-ide modernitas dalam hukum pidana ini yang kemudian dirangkum dalam prinsip hukum pidana modern paling utama, yakni dalam Asas Legalitas. Intisari asas legalitas hukum pidana sendiri, dapat dilihat dari adagium legendaris Von Feuerbach (ahli hukum pidana Jerman) yang berbunyi “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”, yang berarti: “tidak ada tindak pidana (delik) dan tidak ada hukuman, tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinya”.

Dari Asas Legalitas Hukum Pidana, kita dapat memahami bahwa pada dasarnya manusia memiliki kebebasan melakukan perbuatan apa pun, sepanjang tidak ada aturan hukum tertulis yang melarang perbuatan tersebut. Asas Legalitas Hukum Pidana memberi jaminan dasar bagi kebebasan individu, dengan memberi batasan yang tepat dan jelas terkait aktivitas apa yang dilarang oleh Negara melalui hukum. Artinya, Negara bisa saja melarang perbuatan tertentu agar tidak dilakukan oleh manusia, kalau memang ada larangan hukumnya secara tertulis.

Elemen asas legalitas hukum pidana modern dibangun oleh beberapa prinsip:

  1. Terhadap ketentuan pidana, tidak boleh berlaku surut (nonretroaktif/nullum crimen nulla poena sine lege praevia/lex praevia). Artinya, hukum pidana tidak bisa mengadili perbuatan yang dilakukan sebelum diberlakukannya aturan tertulis hukum pidana tersebut;
  2. Ketentuan pidana harus tertulis dan tidak boleh dipidana berdasarkan hukum kebiasaan (nullum crimen nulla poena sine lege scripta/lex scripta). Artinya, hukum pidana tidak boleh tidak tertulis, dan seseorang tidak bisa dipidana karena perbuatannya bertentangan dengan hukum kebiasaan -yang pada umumnya tidak tertulis. Dari sini dapat dilihat jika Hukum Pidana itu sendiri sudah selalu harus tertulis;
  3. Rumusan ketentuan pidana harus jelas (nullum crimen nulla poena sine lege certa/lex certa). Untuk itu, perlu ada konstruksi bahasa norma pidana yang ketat dalam suatu hukum pidana. Implikasinya adalah, segala ketentuan yang rumusan pidananya tidak jelas, bersifat karet, tidak terukur, mengawang-awang dan multitafsir sudah dengan sendirinya bertentangan dengan asas legalitas hukum pidana;
  4. Ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat dan larangan analogi (nullum crimen poena sine lege stricta/lex stricta). Elemen asas ini menunjukkan jika tidak boleh ada disparitas yang terlampau jauh antara teks norma pidana dengan tafsir jurist. Hal ini untuk mengantisipasi kekacauan penafsiran hukum. Termasuk juga di dalamnya tidak boleh dilakukan analogi terhadap sesuatu perbuatan hanya karena perbuatan tersebut dianggap “mirip” dengan sifat gagasan dalam suatu teks norma ketentuan pidana.

Dalam mazhab hukum, argumentasi asas legalitas hukum pidana ini dianggap sebagai bagian dari mazhab legisme, yakni mazhab yang mengedapankan aturan hukum tertulis sebagai sumber dan dasar hukum yang absah. Kesemua elemen asas legalitas hukum pidana dan legisme ini ditujukan agar dapat mewujudkan kepastian hukum dan keadilan bagi warga negara yang berhadapan dengan hukum, dan untuk menjamin tidak adanya tindakan sewenang-wenang dari pejabat penegak hukum.

Asas legalitas hukum pidana modern lahir dalam semangat era modern (Abad 17–18 M) dan semangat kebebasan pasca Revolusi Perancis 1789–1799 tatkala pada era sebelumnya hukum ditentukan oleh titah raja semata, dan raja-raja itu sendiri memiliki kekuasaan mutlak dan berada di atas hukum. Raja dapat dengan mudah menentukan dan menuduh seseorang melawan hukum dan dipidana, tanpa batasan dan aturan hukum tertulis yang jelas. Demi melawan kesewenang-wenangan raja/penguasa dalam berhukum, maka Feuerbach merumuskan asas legalitas sebagaimana disebutkan di atas.

Ada pun asas legalitas hukum pidana modern Indonesia ini tercantum secara jelas dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana)/Wetboek van Strafrecht, yang menyatakan: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.

Dari Asas Legalitas KUHP ini, maka jelas bahwa suatu perbuatan hanya dapat dipidana sejauh perbuatan tersebut diatur ketentuan pidananya dalam aturan perundang-undangan. Artinya, semua orang bebas melakukan perbuatan apa pun, sejauh perbuatan tersebut memang tidak dilarang oleh aturan hukum tertulis. Tidak boleh ada Polisi-Jaksa-Hakim yang melakukan penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan terhadap seseorang terkait perbuatannya, jika perbuatan tersebut pada dasarnya tidak dilarang dan diatur oleh hukum secara tertulis.

Potensi Kesewenang-wenangan Hukum dalam RUU KUHP

Semangat modernitas dalam kepastian hukum asas legalitas hukum pidana disinyalir oleh sebagian sarjana hukum pidana Indonesia sebagai bentuk infiltrasi budaya dan cara pikir masyarakat Barat (Eropa) terhadap masyarakat Indonesia. KUHP sebagai induk hukum pidana Indonesia yang notabenenya warisan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, dianggap membawa semangat individualisme dan liberalisme dan telah merusak tatanan “moral dan nilai-nilai ketimuran” masyarakat Indonesia.

Di sisi lain, dengan berlakunya KUHP warisan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, hal tersebut dianggap telah mengakibatkan “hukum asli Indonesia (?)” tidak dapat dijadikan sebagai rujukan utama hukum pidana Indonesia, karena sedari awal tidak termaktub dalam KUHP. Menurut sebagian sarjana hukum pidana Indonesia ini, hal tersebut berimbas tidak dapat dihukumnya perbuatan seseorang meski pun perbuatannya tersebut diduga telah bertentangan dengan norma, nilai, dan adat/kebiasaan masyarakat Indonesia.

Atas nama pluralisme, relativisme hukum, “semangat dekolonisasi”, dan “moralitas timur” ini kemudian, ketentuan asas legalitas hukum pidana yang legistik dikesampingkan dalam RUU KUHP. Meski pun RUU KUHP dalam Pasal 1-nya tetap mempertahankan rumusan asas legalitas dalam KUHP saat ini, namun dalam Pasal 2-nya merumuskan pemidanaan yang dimungkinkan tidak hanya berdasarkan aturan hukum tertulis, melainkan juga berdasarkan moral dan nilai hidup yang di masyarakat.

Hal ini tertuang jelas dalam rumusan Pasal 2 ayat 1 dan 2 RUU KUHP, yang berbunyi: (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 1 tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini; (2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.

Rumusan norma ini bermasalah, setidaknya bakal melahirkan pertanyaan problematis sebagai berikut: 1) Bagaimana menentukan suatu hukum itu hidup di masyarakat atau tidak hidup meski tidak diatur secara tertulis?; 2) Siapa yang dapat menentukan dan menjamin suatu hukum tidak tertulis itu hidup di masyarakat?, dan; 3) Apa yang dijadikan ukuran sesuatu itu dianggap hukum yang hidup di masyarakat?

Di sisi yang lain, Pasal 2 ayat 2 RUU KUHP menyatakan bahwa “hukum tidak tertulis yang hidup di masyarakat” berlaku sepanjang tidak bertentangan (selaras) dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab. Batasan ini sangat tidak jelas, karena pada hari ini semua orang bisa mengklaim dengan batasan tersebut. Di sisi lain, dalam norma pasal-pasal RUU KUHP secara tertulis sendiri (seperti delik pidana ideologi, penghinaan agama, zina, dll.) justru isinya bertentangan dengan HAM, UUD 1945, dll. Bagaimana bisa hendak mengkontrol aturan tidak tertulis agar selaras dengan HAM dan Konstitusi, sedangkan beberapa aturan tertulis dalam RUU KUHP saja secara eksplisit bertentangan dengan HAM dan Konstitusi?

Tim Perumus RUU KUHP sendiri mengklaim bahwa ketentuan hukum tidak tertulis yang hidup di masyarakat dalam RUU KUHP adalah untuk mengakomodir hukum adat. Namun niatan ini tampaknya naif, karena hukum adat eksis dengan adanya pembatasan yurisdiksi yang mencakup teritori dan genealogis keanggotaan masyarakat adat. Selain itu, ia eksis karena adanya konsepsi religio magis dan holistik hukum adat yang dipercayai oleh para penganut dan anggota masyarakat adatnya.

Konsepsi religio magis dalam penegakan hukum adat ini yang kemudian melekat pada kesadaran warga adat dari bawah, dan dilegitimasi oleh simbol suci pada sosok tetua adat/tokoh adat. Oleh karenanya, hukum adat adalah hukum yang datang dari bawah, dan tidak dipaksakan dari atas. Kekuatan pemberlakuan hukum adat hanya tetap ada pada struktur yang dituakan dan disucikan di masyarakat adat, tidak bisa ditarik atau direbut oleh Negara secara represif. Namun dalam proyek RUU KUHP, hukum adat justru hendak dibawa paksa oleh Negara, dan diterapkan secara represif lewat penegakan hukum pidana nasional. Pada posisi ini, yang terjadi adalah hukum adat ditegakkan secara paksa dan direbut oleh Negara sebagai otoritas tunggal penegak hukum.

Pemberlakuan Pasal 2 RUU KUHP sendiri sangat tidak cocok dengan konteks masyarakat urban di perkotaan, dimana nilai, moralitas, etika, dan kebudayaan sangatlah dinamis dan cepat berubah. Tim perumus RUU KUHP tampaknya begitu naif dalam memandang kebudayaan beserta isi-isinya (nilai, moral, etika, dll.), dimana kebudayaan diletakkan pada posisi yang esensialis (seolah tetap dan baku). Padahal fakta sosial global menunjukkan, bahwa nilai, moralitas, etika, dan kebudayaan sangatlah anti esensialis (dinamis, berubah dengan cepat).

Tentu menjadi sangat berbahaya bilamana hukum ditentukan oleh suatu objek tautan yang cepat berubah-berubah dan relatif, karena alasan mengapa hukum itu harus dibuat pasti dan ketat adalah untuk menjamin hukum digunakan sebagaimana mestinya dan tidak sewenang-wenang.

Di satu sisi lain, ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 RUU KUHP juga akan berbentrokan dengan ketentuan Pasal 1 ayat 2 RUU KUHP yang menyatakan bahwa dalam menetapkan suatu tindak pidana digunakan analogi. Ketentuan larangan analogi ini pada dasarnya penguatan Asas Legalitas Hukum Pidana Modern yang menyatakan bahwa perbuatan yang dilarang harus jelas, spesifik, dan tertulis, dan tidak bisa mempidanakan perbuatan yang tidak diatur.

Larangan analogi pada dasarnya mencakup larangan gesetz analogi dan recht analogi, dimana larangan analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak dilarang dan tidak ditulis dalam ketentuan hukum pidana. Dengan diberlakukannya ketentuan hukum tidak tertulis yang hidup di masyarakat, maka potensi analogi bakal tidak terbendung, karena perbuatan-perbuatan yang tidak diatur namun dianggap mirip dengan perbuatan kejahatan dan kriminal dalam hukum pidana, dapat dipidana atas dasar “bertentangan dengan nilai dan hukum yang hidup di masyarakat”.

Selain mengadakan/memberlakukan (mem-positif-kan) “hukum tidak tertulis yang hidup di masyarakat” sebagai dasar aturan pemidanaan, ketentuan Pasal 2 RUU KUHP ini menjadi kontradiktif lagi bilamana ia dianggap dapat me-negatif-kan (meniadakan) hukum pidana tertulis dalam KUHP.

Misalnya dalam KUHP diatur secara tertulis terkait tindak pidana pencurian dengan ancaman sekian tahun. Namun di suatu masyarakat, pencurian tersebut bukanlah suatu kejahatan dalam “hukum yang hidup di masyarakat” yang mereka miliki. Atau paling tidak, di masyarakat tersebut Pencurian memang suatu kejahatan, tapi “hukum yang hidup” disana mengatakan sanksinya hanyalah permaafan (bukan penjara atau pun denda). Apakah kemudian “hukum yang hidup di masyarakat” ini dapat menjadi hukum yang berlaku, sembari menegasikan ketentuan hukum pidana tertulis dalam KUHP? Kesimpangsiuran pemberlakuan ketentuan ini maka dengan sangat jelas akan menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum di Indonesia.

Tidak adanya batasan dengan apa yang disebut sebagai “hukum yang hidup di masyarakat” inilah, mengakibatkan hukum menjadi tidak pasti, karena selain ia tidak tertulis, juga ditentukan berdasarkan klaim semata, terlepas klaim tersebut representatif, legitim dan berwenang, atau tidak. Maka potensi kesewenang-wenangan penegakan hukum pidana sangat besar kemungkinan terjadi ketika asas legalitas yang diperluas dalam RUU KUHP ini diberlakukan.

Padahal dalam hukum pidana modern, jika suatu delik dan hukum hendak dirumuskan, disahkan, dan disebut sebagai “suatu hukum”, maka ia harus melalui proses uji yang panjang, baik dari segi argumentasi filsafatnya, historisnya, sosiologisnya, saintifikasinya, keadilannya, hingga kepastian hukumnya. Proses perumusan dan penetapan ini dilakukan oleh lembaga Negara yang berwenang, sehingga ia legitim dan dapat dipertanggungjawabkan.

Berbeda dengan status “hukum tidak tertulis yang hidup di masyarakat”, apakah ia ditetapkan dengan melalui proses pengkajian sistematis, pengujian, verifikasi dan falsifikasi? Tentu tidak, karena penetapannya dilakukan sepihak berdasarkan asumsi dan kehendak demografi mayoritas kelompok di suatu masyarakat yang merasa moralnya paling absah dan itu bersifat sentimentil semata.

Kondisi tanpa otoritas riil dan absah dalam penentuan “hukum tidak tertulis yang hidup di masyarakat” sebagai dasar pemidanaan, adalah kondisi anarkis, dimana pemidanaan dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas, melampaui struktur dan wewenang yang ada. Maka yang terjadi adalah kesewenang-wenangan penegakan hukum yang dapat mencederai kepastian dan keadilan berhukum.

Sejauh “hukum tidak tertulis yang hidup di masyarakat” mengacu pada kalkulasi demografi moral mayoritas di suatu masyarakat, maka ia berpotensi melahirkan overkriminalisasi dan persekusi, terutama terhadap kelompok-kelompok minoritas dan rentan yang lemah. Hukum akhirnya dijadikan oleh kelompok mayoritas untuk menindas kelompok minoritas yang tidak disukainya, meski pun penindasan itu sendiri bertentangan dengan kemanusiaan dan keadilan.

Maka posisi yang tepat bagi DPR-RI dan Pemerintah RI hari ini terhadap pengaturan asas legalitas hukum pidana adalah dengan membiarkan norma asas legalitas apa adanya sebagaimana yang termaktub dalam KUHP saat ini, tanpa dikurangi maupun ditambahi.

Bila rumusan asas legalitas yang diperluas (hukum tidak tertulis yang hidup di masyarakat) dalam Pasal 2 ayat 1 dan 2 RUU KUHP ini tidak dihapus dan masih dipertahankan, maka ia adalah bencana bagi Negara Hukum Modern dan Demokrasi Indonesia. Dunia Hukum Indonesia mengalami kemunduran, persis seperti kondisi abad pertengahan di Eropa, dimana yang memiliki kekuatan mayoritas, yang merasa memiliki moral paling absah, dan memiliki kekuasaan dapat secara sewenang-wenang melakukan penghukuman. Maka dalam posisi ini yang dipertaruhkan adalah nasib hak asasi manusia dan kebebasan individu warga negara Indonesia yang akan semakin memburuk keadaannya. []

— Penulis adalah Pengacara Publik LBH Jakarta. Menaruh fokus pada isu hak asasi manusia, demokratisasi, dan kebebasan sipil-politik